Chapter 2. Hari yang Cerah

Hari ini cuaca agak mendung, udara terasa lembab. Aku memasuki kelas sambil menarik napas dalam-dalam.

“Eh…….. Si Vivi dah dateng tuh Van.” Johan, teman sekelasku dan sekaligus teman dekat Evan menyenggol Evan yang kemudian menoleh ke arahku.

“Yo! Akhirnya nyampe sekolah jg.” Evan melangkah ke arahku dan menepuk kepalaku.

“Ih! Mentang-mentang tinggi.” Evan hanya tersenyum menanggapiku. Sebenarnya aku senang banget setiap kali dia menepuk kepalaku. Dulu aku selalu marah-marah tapi sekarang jauh di dalam hatiku aku senang. hehehe….

“Pinjem PR mat donk….” Evan mengulurkan tangannya kepadaku.

“Kebiasaan deh!” Aku merogoh bukuku. “Nih, awas sampe lecek ya.”n

“Oke bos!” Evan beranjak dariku kemudian menghampiri Johan.

“Cie… yang abis PDKT ni” Johan menggoda Evan.

“Apa’an sih gak gw kasi liat PRnya si Vivi ni ya.”

“Akh… jangan donk. Gw jg blm kerja ni.” Johan menggeser bukunya menyalin jawaban.

Aku duduk di tempat dudukku. Aku melihat Rena datang dan seperti biasa duduk di bangku paling belakang. Beberapa saat kemudian pelajaran dimulai seperti biasa. Hari ini aku tidak bisa berkonsentrasi, pikiranku penuh dengan kata-kata Rena kemarin. Aku menoleh ke arah Evan, seperti biasa dia selalu memainkan pulpennya sambil melihat ke arah papan tulis. Tanpa sadar, akupun mengikuti gerakan tangannya sambil tersenyum sendiri. Tet3x…………Akhirnya bel istirahat berbunyi.

“Akh… laper nih. Eh ada yang mau kantin gak? bareng yuk.” Seru Evan. Seketika itu juga cewek-cewek di kelas menghampiri Evan. Aku menunduk, hatiku gundah. Bener juga, selama ini Evan populer di antara cewek-cewek. Dia orang yang easy going n enak di ajak ngobrol. Tapi aku? Nothing special kecuali otakku hahaha…. aku tertawa pada diriku sendiri.

“Woi Vi, mau ikutan gak? Sebagai balasan contekan tadi kutraktir deh” Aku menengadahkan kepalaku terkejut.

“Mau donk. Ntar aku pesen yang banyak ah……….”

“Lu mau buat gw bokek ya.” Aku tersenyum ke arahnya. Kemudian melangkahkan kakiku mengikuti anak-anak ke arah kantin

Setibanya di kantin, anak-anak kelas kami menyabotase meja dan kursi yang ada di kantin. Tentu saja kelas kami yang paling ramai. Saat itu aku melupakan kegundahanku sejenak dan tertawa lepas bersama Evan dan teman-teman. Sungguh atmosfer yang menyenangkan.

“Eh udah cerah nih, gak mendung lagi.” Ucap Rika, teman sekelasku yang suka shopping dan berteman dekat dengan Ica. Mereka berdua berteman sejak SMP dan memiliki wajah yang menarik.

“Sip… bisa shopping nih abis pulang skolah.” Ica menimpali

“Dasar cewek, seneng banget ma shopping.” Johan menggelengkan kepala.

“Ya…………. kecuali yang satu ini nih. Senengnya ma toko buku.” Evan mengacak-acak rambutku, membuat jantungku berdebar dan pipiku memerah.

“Biarin! Suka-suka donk.”Aku menepis tangannya

“Cie…. suami istri lagi bertengkar nie………” Goda Ica.

“Ih…. Siapa yang suka sama orang kayak Evan.” Elakku berlebihan dengan nada tinggi. Sesaat wajah Evan berubah terkejut. Sepertinya perkataanku terlalu kasar. Anak-anak yang lain pun terdiam dan atmosfer di antara kami berubah. Bel masuk kelas memecah keheningan di antara kami.

“Udahlah…….. jangan godain Vivi terus ntar dia nangis lagi. Lagipula Vivi bukan tipe cewekku.” Deg! Aku bukan tipe ceweknya? Setelah mengatakan itu Evan membalikkan badan dan melangkah mendahului kami.

“Ng….. udah yuk balik kelas. Ntar si botak dah nyampe di kelas duluan.” Ucap Johan mencairkan suasana dan anak-anak pun kembali seperti biasa. Aku berjalan setengah berlari mengejar Evan.

“Van sori ya. Aku gak bermaksud berbicara seperti itu.” Ia terdiam sejenak membuatku merasa bersalah.

“Udahlah gak usah dibicarain lagi, aku gak tersinggung kq cuma kaget aja ama nada suaramu.” Evan tersenyum ke arahku. Tapi apa benar dia gak marah? Aku menundukkan kepalaku. Lagi-lagi Evan mengacak rambutku, membuatku terkejut.

“Akh sori…. jadi kebiasaan ngacak2 rambutmu. hehehe….” Gak Van, gak perlu minta maaf. Karena aku gak merasa terganggu. Justru setiap kali kamu mengacak rambutku, aku merasakan ketenangan, aku senang.

“Iya  ni, rambutku jadi berantakan kan!”  Aku membelalakan mataku kearahnya. Hahaha apa yang kuucapkan selalu bertolak belakang dengan perasaanku.

Kami berdua terdiam, berjalan dengan lambat. Membuatku bingung harus apa. Anak-anak yang lain mendahului kami masuk kelas. “Hm………. Van. Thanks ya tadi kamu dah belain aku.”

“Belain??”

“Itu waktu kamu bilang jangan godain.”

“Gak perlu terima kasih toh aku gak belain kamu. Aku rasa akhir-akhir ini kamu suka ngelamun jd kupikir kamu pasti lagi jatuh cinta sama cowok. Aku jadi gak enak kalo cowok yang kamu suka jadi salah paham.” Aku tak bisa menanggapi perkataannya. Aku tidak suka atmosfer ini dimana Evan berbicara serius. Oh Van, tahu kah kamu bahwa cowok yang aku suka itu kamu.

“Oh ya Vi, semoga berhasil ya.” Evan tersenyum ke arahku dan mendahuluiku masuk ke dalam kelas.

Sedetik aku mematung. Cuaca yang mendung berubah menjadi cerah sekarang tapi entah mengapa aku merasakan hujan yang makin lama makin deras di dalam hatiku.

Saat ini aku tenggelam dalam pikiranku. ‘Lagian Vivi bukan tipe cewekku’, ‘Aku rasa akhir-akhir ini kamu suka ngelamun jd kupikir kamu pasti lagi jatuh cinta sama cowok’, ‘Oh ya Vi, semoga berhasil ya’ Kata-kata Evan terus terngiang di benakku. Apakah aku hanya bisa menjadi pengagum rahasianya saja? Apa aku terlalu berharap banyak? Bahkan dia mengira aku mencintai cowok lain. Hmph……… aku tertawa sedih.

Tanpa sadar bel pulang sekolah berbunyi dan satu per satu anak-anakpun pulang tapi aku masih duduk terpaku. Aku tak bisa terus menerus seperti ini, aku harus lebih ceria. Aku mengambil tasku lalu berdiri. Sesaat ketika aku menoleh ke belakang, aku terkejut. Rena masi duduk di tempat duduknya, pandanganya menerawang ke arah papan tulis.

“Gak pulang Ren?” Suaraku mengejutkannya.

“Sori aku ngelamun.” Kalau dipikir-pikir aku baru sadar, Renapun kemarin belum pulang sama sepertiku.

“Ada apa kq ngelamun? Lagi ada masalah?” Aku mendekatinya tapi ia hanya menjawabku dengan tersenyum kecil. Akupun terdiam.

“Hanya teringat masa lalu. Kurasa kamu yang lagi punya masalah karena g bisa jujur sama perasaanmu sendiri.” Ia tersenyum lagi kali ini lebih lebar.

“Ayo pulang, tinggal kita berdua nih seperti kemarin.” Kamipun meninggalkan ruangan kelas menuju ke arah rumah kami masing-masing.

Aku gak tahu hari esok. Apakah akan cerah atau mendung. Aku juga gak tahu harus bersikap seperti apa besok di depan Evan. Yang aku tahu, aku gak bisa terus menerus melankolis seperti ini. Aku harus bisa ceria seperti biasa di depannya. Ke arah mana cintaku berjalan, biarlah menjadi misteri……….. biarlah aku menikmati perasaan yang kupunya saat ini. Setiap detiknya biar kukenang di dalam memoriku.

Chapter 2 The End

About chiyokochan

Binusian 2013
This entry was posted in My Stories and tagged . Bookmark the permalink.

One Response to Chapter 2. Hari yang Cerah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *